Jumat, 17 Februari 2017

Bapak Presiden, Maaf Engkau Gagal

"Siri’na Tumabbutaya Niyaki Ri Pammaretaya, Pa’rupanna Gauka Niyaki Ri Tumabbuttaya, Parentyai Taua Ri Ero’na Numaccarammeng Ri Kalennu = Harga Diri Dan Kehormatan Rakyat Terletak Ditangan Pemimpin Sedangkan Keberhasilan Pemimpin Terwujud Hanya Dengan Peran Serta Masyarakatnya, Pimpinlah Rakyat Dengan Penuh Kearifan Sesuai Aspirasinya Dan Bercerminlah Pada Dirimu, Karena Cermin Tidak Pernah Bohong ”
(Karaeng Pattingalloang)
Perjalanan kabangsaan kita sebagai sebuah negara merdeka telah melalui berbagai fase, sejak di proklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta serta jutaan rakyat telah mengorbankan jiwanya untuk tercapainya kemerdekaan atas segala bentuk penjajahan dan penindasan oleh imperialis Belanda pada akhirnya mebuahkan hasil pada 17 Agustus 1945 dengan medeklarasikan kemerdekaannya sebagai sebuah negara merdeka dan menginformasikan kepada seluruh penduduk bumi bahwa telah lahir sebuah negara yang bernama Indonesia dengan dibangun diatas tetesan darah jutaan pejuangnya. Memasuki fase awal kemerdekaan dibawah kepemimpinan tokoh revolusioner yang di akui dunia bernama Soekarno yang dalam catatan sejarah perjalanan kebangsaan kita dikenal dengan era orde lama yang pada akhirnya tumbang dan memasuki era orde baru dibawah rezim yang diktator Soeharto yang juga akhirnya tumbang dan Indonesia memasuki fase Reformasi sebagai jawaban yang dianggap akan membawa angin segar serta keluarnya Indonesia dari berbagai keterpurukan yang dialaminya. Era baru sejarah kebangsaan kita itu juga menguras tenaga dan piukiran anak bangsa atas berbagai polemih yang dihadapi dalam berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, silih bergantinya kepemimpinan nasional pasca reformasi dimulai dari BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono belum juga bisa maksimal menjalankan roda pemerintahan sebagai kepala Negara dalam meresposn segala persoalan dan keluar dari derita yang dialami oleh ratusan juta penduduk negeri.
Tahun 2014 setelah 69 tahun bengsa ini menyatakan kemerdekaannya akan memasuki fase baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimana rezim pemerintahan SBY berakhir setelah 10 tahun berkuasa dan akan dilakukan proses pergantian kepemimpinan nasional yang dilaksanakan secara demokratis, merupakan sebuah momentum yang sangat berharga untuk melakukan proses refleksi perjalan bangsa kita untuk menentukan kepemimpinan nasional selanjutnya lewat pesta demokrasi dengan melibatkan seluruh penduduk negeri dalam menentukan rezim baru lewat pesta demokrasi pemilihan presiden.
Setelah melalui berbagai proses dinamika intrik politik yang menguras energy bangsa dalam momentum tersebut melahirkan pemimpin baru presiden baru kita Joko Widodo yang menjadi tumpuan harapan 250 juta penduduk Indonesia untuk keluar dari jeratan kompleksitas persoalan bangsa. Terpilihnya presiden yang akrab disapa Jokowi ini tentu menjadi angin segar bagi perjalanan bangsa kita yang mencitakan masyarakat adil dan makmur, hal ini tentu tidak terlepas dari citra seorang  Jokowi yang seolah menjadi jawaban atas penantian 70 tahun bangsa ini untuk dipimpin oleh sosok yang bisa membawa Indonesia poada cita luhurnya. Dalam perjalanan perpolitikan kita Jokowi adalah nama baru dalam pentas politik Indonesia yang mana memulai karir politik sebagai Walikota Solo yang dalam waktu singkat citra dan popularitasnya melejit yang akhirnya mengantarkannya kembali menduduki posisi Gubernur DKI Jakarta sebagai ibukota Negara, perjalanan karir politik Jokowi yang begitu mulus dan mujur tentu tidak terlepas dari berbagai citra diri yang ditampilkannya sebagai sosok pemimpin yang mewakili kalangan wong cilikyang merupakan mayoritas dinegeri dengan status sebagai potongan surga yang ada dibumi, Jokowi adalah sosok yang telah dinantikan oleh ratusan juta penduduk negeri, kesederhanaanya serta sikap egaliternya dan lahir dari keluarga yang sederhana yang berangkat dari penderitaan yang sama dialami oleh mayoritas rakyat negeri ini, lebih jauh media terus menampilakan sosok Jokowi dalam berbagai momentum yang memberikan kabar gembira kepada rakyat bahwa sosok yang dinantikan itu ada pada diri Jokowi, sosok yang doyan blusukan bahkan public tidak akan pernah lupa bagaimana Jokowi kala berstatus orang nomor satu di DKI Jakarta masuk ke dalam got untuk melakukan pengecekan dan perbaikan agar warga Jakarta terbebas dari banjir.
Citra yang terus ditampilkan kehadapan public lewat berbagai media mempertontokan bagaimana agar menggiring public bahwa inilah sosok yang akan menghilangkan dahaga menjawab kehausan masyarakat akan sosok pemimpin dengan gaya dan karakter yang baru yang tidak sama sekali dimiliki oleh rezim-rezim sebelumnya untuk bisa mengantarkan negeri ini kepada masyarakat adil dan makmur, media terus menampilakan Jokowi akan keberpihakannya kepada rakyat kecil dan bagaimana membawa Indonesia keluar dari berbagai persoalan yang dialaminya, dengan berbagai citra tersebutlah hingga akhirnya pada pesta demokrasi 2014 itu Jokowi dengan mulus menempatkannya sebagai orang nomor satu dinegeri berpeduduk 250 juta ini, Memasuki era baru dibwah rezim Jokowi public tentu manaruh harapan besar dibawah kepemimpinannya, agar dapat hadir ditengah problematika kebangsaan kita sebagaimana citra yang ditampilkannya selama ini.
Namun apa yang terjadi setelah Jokowi berkuasa seluruh harapan itu runtuh dan musnah masyarakat seolah tertipu dan tersihir akan citra diri yang ditampilkannya, Jokowi tampil jauh dari harapan public sebagaimana alasan mereka memilh Jokowi menjadi penguasa negeri, apa yang ditampilkan sangat kontradiktif dengan apa yang dicitrakan  media tentangnya selama ini. Tidak lagi terlihat sosok yamg peduli rakyat kecil, sosok egaliter itu telah punah berganti dengan berbagai tindakan dan kebijakan yang membuat public geleng-geleng kepala sosok itu telah berubah dan bahkan punah dalam dirinya. Persoalan Negara yang sudah kompleks semakin parah hampir semua segmen kehidupan berbangsa dan bernegara kita terjadi huru-hara.
Bahkan dibawah rezim Jokowi NKRI terancam diakibatkan kebijakan dan tindakan pemerintah yang sebenarnya tidak dipahami public apa yang menjadi keinginannya demokrasi kita terancam bahkan demokrasi kita telah mati surara-suara kritik dibugkam aktivis gerakan ditruduh makar mahasiswa dipasung dengan aktivitas akademik yang didesain sedemikian rupa untuk focus dikampus agar secepatnya keluar untuk menjadi budak korporasi, kedaulatan Negara tergerus, cita-cita berdikari sebagai salah satu konsepsi bernegara kita tinggal menjadi lips service yang hanya hadir dimulut-mulut penguasa. Para pemilik modal, kaum kapitalis, korporasi-korporsi merampok dan menjarah bangsa ini, masyarakat dan Negara seoah tidak punya kuasa atas tanah sendiri, semua segmen yang menjadi domain hajat hidup masyarakat telah dikapitalisasi dan diperuntukkan untuk kaum pemodal, korporasi global serta kelompok berdasi telah memonopoli sektor public dan telah diprivatisasi Negara tidak lagi berdaualat.
Pemimpin merakyat hanya pencitraan, klaim tegas hanya bahasa bibir, perampok Negara tidak bisa diadili malah dijamu, aktivitasnya tidak menunjukkan pembelaannya terhadap rakyat kecil, nawa cita yang menjadi janji kampanye yang telah menggiurkan public berubah menjadi duka cita, negara tidak punya nilai jual didunia internasioanal presiden tidak mampu bersikap atas gejolak kemanusiaan dan perang diberbagai belahan dunia yang membuat nalar kemausiaan kita remuk dan hancur presiden hanya diam melihat irtu semua. Presiden layaknya boneka dihadapan pengusa partai politik hanya bisa tunduk dan manut dikendaikan oleh ketua partai dan pemilik modal, inilah akibat jika negara tidak lagi berdaulat.
Hukum tidak lagi befungsi sebagaimana fungsinya, hukum jusrtu menjadi alat bagi penguasa untuk menjaga kekuasaannya siapa yang mengkritik dan melawan penguasa akan dikriminalisasi. Keadilan tidak untuk yang miskin dan tidak punya modal dan kekuasaan, kebenaran dapat dibeli bagi yang bermodal, hukum tumpul keatas tajam kebawah menghantam dan membantai semua yang mengancam status quo, konflik dicipta ditengah masyarakat, ormas diadu domba terjadi huru hara dimana mana yang juga berefek lahirnya dualisme mulai dari partai polik hingga organisasi kepemudaan dan kemahsiswaan dimana negara member legalitas untuk semua itu. Apa yang ditampilkan oleh rezim hari ini seolah prediden dan kroninya sedang bersandiwara, sedang bermain, tidak serius mengolah negara, kebijakan dikeluarkan layaknya candaan, terlihat presiden bercanda dalam mengelola negara.
Sebelum semuanya terlambat, selagi NKRI masih utuh masih ada kesempatan untuk memperbaiki semua itu, bola ada ditangan bapak Presiden Jokowi, masih ada kesempatan untuk menebus dosa dengan tampil bijak, dengan hadir sebagai negarawan sejati, mundur secara terhormat dan angkat tangan atas ketidakmampuan menjalankan amanat rakyat, mengakui kegagalan dalam menginterpretasikan harapan rakyat. Maaf bapak Presiden anda telah gagal menjawab harapan itu jalan terbaik untuk bangsa ini adalah anda bersikap bijak, sebelum semuanya terlambat.
”…Saya Lebih Baik Mundur Sebagai Presiden Daripada Melakukan Tindakan-Tindakan Yang Melanggar Pancasila…”  Gus Dur.
*Abdul Gafur, Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Makassar


Emoticon Emoticon